Laki-Laki Sejati
Cerpen Putu Wijaya
Seorang perempuan muda bertanya kepada
ibunya.
Ibu, lelaki sejati itu seperti apa?
Ibunya terkejut. Ia memandang takjub
pada anak yang di luar pengamatannya sudah menjadi gadis jelita itu. Terpesona,
karena waktu tak mau menunggu. Rasanya baru kemarin anak itu masih ngompol di
sampingnya sehingga kasur berbau pesing. Tiba-tiba saja kini ia sudah menjadi
perempuan yang punya banyak pertanyaan.
Sepasang matanya yang dulu sering
belekan itu, sekarang bagai sorot lampu mobil pada malam gelap. Sinarnya begitu
tajam. Sekelilingnya jadi ikut memantulkan cahaya. Namun jalan yang ada di
depan hidungnya sendiri, yang sedang ia tempuh, nampak masih berkabut.
Hidup memang sebuah rahasia besar yang tak hanya dialami dalam cerita di dalam pengalaman orang lain, karena harus ditempuh sendiri.
Hidup memang sebuah rahasia besar yang tak hanya dialami dalam cerita di dalam pengalaman orang lain, karena harus ditempuh sendiri.
Kenapa kamu menanyakan itu, anakku?
Sebab aku ingin tahu.
Dan sesudah tahu?
Aku tak tahu.
Wajah gadis itu menjadi merah. Ibunya
paham, karena ia pun pernah muda dan ingin menanyakan hal yang sama kepada
ibunya, tetapi tidak berani. Waktu itu perasaan tidak pernah dibicarakan,
apalagi yang menyangkut cinta. Kalaupun dicoba, jawaban yang muncul sering
menyesatkan. Karena orang tua cenderung menyembunyikan rahasia kehidupan dari
anak-anaknya yang dianggapnya belum cukup siap untuk mengalami. Kini segalanya
sudah berubah. Anak-anak ingin tahu tak hanya yang harus mereka ketahui, tetapi
semuanya. Termasuk yang dulu tabu. Mereka senang pada bahaya.
Setelah menarik napas, ibu itu mengusap
kepala putrinya dan berbisik.
Jangan malu, anakku. Sebuah rahasia tak
akan menguraikan dirinya, kalau kau sendiri tak penasaran untuk membukanya.
Sebuah rahasia dimulai dengan rasa ingin tahu, meskipun sebenarnya kamu sudah
tahu. Hanya karena kamu tidak pernah mengalami sendiri, pengetahuanmu hanya
menjadi potret asing yang kamu baca dari buku. Banyak orang tua
menyembunyikannya, karena pengetahuan yang tidak perlu akan membuat hidupmu
berat dan mungkin sekali patah lalu berbelok sehingga kamu tidak akan pernah
sampai ke tujuan. Tapi ibu tidak seperti itu. Ibu percaya zaman memberikan kamu
kemampuan lain untuk menghadapi bahaya-bahaya yang juga sudah berbeda. Jadi ibu
akan bercerita. Tetapi apa kamu siap menerima kebenaran walaupun itu tidak
menyenangkan?
Maksud Ibu?
Lelaki sejati anakku, mungkin tidak
seperti yang kamu bayangkan.
Kenapa tidak?
Sebab di dalam mimpi, kamu sudah
dikacaukan oleh bermacam-macam harapan yang meluap dari berbagai kekecewaan
terhadap laki-laki yang tak pernah memenuhi harapan perempuan. Di situ yang ada
hanya perasaan keki.
Apakah itu salah?
Ibu tidak akan bicara tentang salah atau
benar. Ibu hanya ingin kamu memisahkan antara perasaan dan pikiran. Antara
harapan dan kenyataan.
Aku selalu memisahkan itu. Harapan
adalah sesuatu yang kita inginkan terjadi yang seringkali bertentangan dengan
apa yang kemudian ada di depan mata. Harapan menjadi ilusi, ia hanya
bayang-bayang dari hati. Itu aku mengerti sekali. Tetapi apa salahnya bayang-bayang? Karena dengan bayang-bayang itulah kita tahu ada sinar matahari
yang menyorot, sehingga berkat kegelapan, kita bisa melihat bagian-bagian yang
diterangi cahaya, hal-hal yang nyata yang harus kita terima, meskipun itu
bertentangan dengan harapan.
Ibunya tersenyum.
Jadi kamu masih ingat semua yang ibu
katakan?
Kenapa tidak?
Berarti kamu sudah siap untuk melihat
kenyataan?
Aku siap. Aku tak sabar lagi untuk
mendengar. Tunjukkan padaku bagaimana laki-laki sejati itu.
Ibu memejamkan matanya. Ia seakan-akan
mengumpulkan seluruh unsur yang berserakan di mana-mana, untuk membangun sebuah
sosok yang jelas dan nyata.
Laki-laki yang sejati, anakku katanya
kemudian, adalah… tetapi ia tak melanjutkan.
Adalah?
Adalah seorang laki-laki yang sejati.
Ah, Ibu jangan ngeledek begitu, aku serius,
aku tak sabar.
Bagus, Ibu hanya berusaha agar kamu
benar-benar mendengar setiap kata yang akan ibu sampaikan. Jadi perhatikan
dengan sungguh-sungguh dan jangan memotong, karena laki-laki sejati tak bisa
diucapkan hanya dengan satu kalimat. Laki-laki sejati anakku, lanjut ibu sambil
memandang ke depan, seakan-akan ia melihat laki-laki sejati itu sedang
melangkah di udara menghampiri penjelmaannya dalam kata-kata.
Laki-laki sejati adalah…
Laki-laki yang perkasa?!
Salah! Kan barusan Ibu bilang, jangan menyela!
Laki-laki disebut laki-laki sejati, bukan hanya karena dia perkasa! Tembok
beton juga perkasa, tetapi bukan laki-laki sejati hanya karena dia tidak tembus
oleh peluru tidak goyah oleh gempa tidak tembus oleh garukan tsunami, tetapi
dia harus lentur dan berjiwa. Tumbuh, berkembang bahkan berubah, seperti juga
kamu.
O ya?
Bukan karena ampuh, bukan juga karena
tampan laki-laki menjadi sejati. Seorang lelaki tidak menjadi laki-laki sejati
hanya karena tubuhnya tahan banting, karena bentuknya indah dan proporsinya
ideal. Seorang laki-laki tidak dengan sendirinya menjadi laki-laki sejati
karena dia hebat, unggul, selalu menjadi pemenang, berani dan rela berkorban.
Seorang laki-laki belum menjadi laki-laki sejati hanya karena dia kaya-raya,
baik, bijaksana, pintar bicara, beriman, menarik, rajin sembahyang, ramah,
tidak sombong, tidak suka memfitnah, rendah hati, penuh pengertian, berwibawa,
jago bercinta, pintar mengalah, penuh dengan toleransi, selalu menghargai orang
lain, punya kedudukan, tinggi pangkat atau punya karisma serta banyak akal.
Seorang laki-laki tidak menjadi laki-laki sejati hanya karena dia berjasa,
berguna, bermanfaat, jujur, lihai, pintar atau jenius. Seorang laki-laki
meskipun dia seorang idola yang kamu kagumi, seorang pemimpin, seorang
pahlawan, seorang perintis, pemberontak dan pembaru, bahkan seorang yang
arif-bijaksana, tidak membuat dia otomatis menjadi laki-laki sejati!
Kalau begitu apa dong?
Seorang laki-laki sejati adalah seorang
yang melihat yang pantas dilihat, mendengar yang pantas didengar, merasa yang
pantas dirasa, berpikir yang pantas dipikir, membaca yang pantas dibaca, dan
berbuat yang pantas dibuat, karena itu dia berpikir yang pantas dipikir,
berkelakuan yang pantas dilakukan dan hidup yang sepantasnya dijadikan kehidupan.
Perempuan muda itu tercengang.
Hanya itu?
Seorang laki-laki sejati adalah seorang
laki-laki yang satu kata dengan perbuatan!
Orang yang konsekuen?
Lebih dari itu!
Seorang yang bisa dipercaya?
Semuanya!
Perempuan muda itu terpesona.
Apa yang lebih dari yang satu kata dan
perbuatan? Tulus dan semuanya? Ahhhhh! Perempuan muda itu memejamkan matanya,
seakan-akan mencoba membayangkan seluruh sifat itu mengkristal menjadi sosok
manusia dan kemudian memeluknya. Ia menikmati lamunannya sampai tak sanggup
melanjutkan lagi ngomong. Dari mulutnya terdengar erangan kecil, kagum, memuja
dan rindu. Ia mengalami orgasme batin.
Ahhhhhhh, gumannya terus seperti
mendapat tusukan nikmat. Aku jatuh cinta kepadanya dalam penggambaran yang
pertama. Aku ingin berjumpa dengan laki-laki seperti itu. Katakan di mana aku
bisa menjumpai laki-laki sejati seperti itu, Ibu?
Ibu tidak menjawab. Dia hanya memandang
anak gadisnya seperti kasihan. Perempuan muda itu jadi bertambah penasaran.
Di mana aku bisa berkenalan dengan dia?
Untuk apa?
Karena aku akan berkata terus-terang,
bahwa aku mencintainya. Aku tidak akan malu-malu untuk menyatakan, aku ingin
dia menjadi pacarku, mempelaiku, menjadi bapak dari anak-anakku, cucu-cucu Ibu.
Biar dia menjadi teman hidupku, menjadi tongkatku kalau nanti aku sudah tua.
Menjadi orang yang akan memijit kakiku kalau semutan, menjadi orang yang
membesarkan hatiku kalau sedang remuk dan ciut. Membangunkan aku pagi-pagi
kalau aku malas dan tak mampu lagi bergerak. Aku akan meminangnya untuk menjadi
suamiku, ya aku tak akan ragu-ragu untuk merayunya menjadi menantu Ibu, penerus
generasi kita, kenapa tidak, aku akan merebutnya, aku akan berjuang untuk
memilikinya.
Dada perempuan muda itu turun naik.
Apa salahnya sekarang wanita memilih laki-laki
untuk jadi suami, setelah selama berabad-abad kami perempuan hanya menjadi
orang yang menunggu giliran dipilih?
Perempuan muda itu membuka matanya. Bola
mata itu berkilat-kilat. Ia memegang tangan ibunya.
Katakan cepat Ibu, di mana aku bisa
menjumpai laki-laki itu?
Bunda menarik nafas panjang. Gadis itu
terkejut.
Kenapa Ibu menghela nafas sepanjang itu?
Karena kamu menanyakan sesuatu yang
sudah tidak mungkin, sayang.
Apa? Tidak mungkin?
Ya.
Kenapa?
Karena laki-laki sejati seperti itu
sudah tidak ada lagi di atas dunia.
Oh, perempuan muda itu terkejut.
Sudah tidak ada lagi?
Sudah habis.
Ya Tuhan, habis? Kenapa?
Laki-laki sejati seperti itu semuanya
sudah amblas, sejak ayahmu meninggal dunia.
Perempuan muda itu menutup mulutnya yang
terpekik karena kecewa.
Sudah amblas?
Ya. Sekarang yang ada hanya laki-laki
yang tak bisa lagi dipegang mulutnya. Semuanya hanya pembual. Aktor-aktor kelas
tiga. Cap tempe semua. Banyak laki-laki yang kuat, pintar, kaya, punya
kekuasaan dan bisa berbuat apa saja, tapi semuanya tidak bisa dipercaya. Tidak
ada lagi laki-laki sejati anakku. Mereka tukang kawin, tukang ngibul, semuanya
bakul jamu, tidak mau mengurus anak, apalagi mencuci celana dalammu, mereka
buas dan jadi macan kalau sudah dapat apa yang diinginkan. Kalau kamu sudah tua
dan tidak rajin lagi meladeni, mereka tidak segan-segan menyiksa menggebuki
kaum perempuan yang pernah menjadi ibunya. Tidak ada lagi laki-laki sejati
lagi, anakku. Jadi kalau kamu masih merindukan laki-laki sejati, kamu akan
menjadi perawan tua. Lebih baik hentikan mimpi yang tak berguna itu.
Gadis itu termenung. Mukanya nampak
sangat murung.
Jadi tak ada harapan lagi, gumamnya
dengan suara tercekik putus asa. Tak ada harapan lagi. Kalau begitu aku patah
hati.
Patah hati?
Ya. Aku putus asa.
Kenapa mesti putus asa?
Karena apa gunanya lagi aku hidup, kalau
tidak ada laki-laki sejati?
Ibunya kembali mengusap kepala anak
perempuan itu, lalu tersenyum.
Kamu terlalu muda, terlalu banyak
membaca buku dan duduk di belakang meja. Tutup buku itu sekarang dan berdiri
dari kursi yang sudah memenjarakan kamu itu. Keluar, hirup udara segar, pandang
lagit biru dan daun-daun hijau. Ada bunga bakung putih sedang mekar
beramai-ramai di pagar, dunia tidak seburuk seperti yang kamu bayangkan di
dalam kamarmu. Hidup tidak sekotor yang diceritakan oleh buku-buku dalam
perpustakaanmu meskipun memang tidak seindah mimpi-mimpimu. Keluarlah anakku,
cari seseorang di sana, lalu tegur dan bicara! Jangan ngumpet di sini!
Aku tidak ngumpet!
Jangan lari!
Siapa yang lari?
Mengurung diri itu lari atau ngumpet.
Ayo keluar!
Keluar ke mana?
Ke jalan! Ibu menunjuk ke arah pintu
yang terbuka. Bergaul dengan masyarakat banyak.
Gadis itu termangu.
Untuk apa? Dalam rumah kan lebih nyaman?
Kalau begitu kamu mau jadi kodok kuper!
Tapi aku kan banyak membaca? Aku hapal
di luar kepala sajak-sajak Kahlil Gibran!
Tidak cukup! Kamu harus pasang omong
dengan mereka, berdialog akan membuat hatimu terbuka, matamu melihat lebih
banyak dan mengerti pada kelebihan-kelebihan orang lain.
Perempuan muda itu menggeleng.
Tidak ada gunanya, karena mereka bukan
laki-laki sejati.
Makanya keluar. Keluar sekarang juga!
Keluar?
Ya.
Perempuan muda itu tercengang, suara
ibunya menjadi keras dan memerintah. Ia terpaksa meletakkan buku, membuka
earphone yang sejak tadi menyemprotkan musik R & B ke dalam kedua
telinganya, lalu keluar kamar.
Matahari sore terhalang oleh awan tipis
yang berasal dari polusi udara. Tetapi itu justru menolong matahari tropis yang
garang itu untuk menjadi bola api yang indah. Dalam bulatan yang hampir
sempurna, merahnya menyala namun lembut menggelincir ke kaki langit. Silhuet
seekor burung elang nampak jauh tinggi melayang-layang mengincer sasaran. Wajah
perempuan muda itu tetap kosong.
Aku tidak memerlukan matahari, aku
memerlukan seorang laki-laki sejati, bisiknya.
Makanya keluar dari rumah dan lihat ke
jalanan!
Untuk apa?
Banyak laki-laki di jalanan. Tangkap
salah satu. Ambil yang mana saja, sembarangan dengan mata terpejam juga tidak
apa-apa. Tak peduli siapa namanya, bagaimana tampangnya, apa pendidikannya,
bagaimana otaknya dan tak peduli seperti apa perasaannya. Gaet sembarang
laki-laki yang mana saja yang tergapai oleh tanganmu dan jadikan ia teman
hidupmu!
Perempuan muda itu tecengang. Hampir
saja ia mau memprotes. Tapi ibunya keburu memotong. Asal, lanjut ibunya dengan
suara lirih namun tegas, asal, ini yang terpenting anakku, asal dia benar-benar
mencintaimu dan kamu sendiri juga sungguh-sungguh mencintainya. Karena cinta,
anakku, karena cinta dapat mengubah segala-galanya.
Perempuan muda itu tercengang.
Dan lebih dari itu, lanjut ibu sebelum
anaknya sempat membantah, lebih dari itu anakku, katanya dengan suara yang
lebih lembut lagi namun semakin tegas, karena seorang perempuan, anakku, siapa
pun dia, dari mana pun dia, bagaimana pun dia, setiap perempuan, setiap
perempuan anakku, dapat membuat seorang lelaki, siapa pun dia, bagaimana pun
dia, apa pun pekerjaannya bahkan bagaimana pun kalibernya, seorang perempuan
dapat membuat setiap lelaki menjadi seorang laki-laki yang sejati!
***
Denpasar,
akhir 2004