Setangkai Bunga Batu
Oleh: Endik Koeswoyo
Kabut itu telah lama menyelimutiku yang
menatapnya dari sekian menit yang lalu. Tidajk juga rasa dingin ini mengusik
kulitku yang setengah telanjang. Gemuruh air itu tidak juga membuatku menoleh
padanya.
Setangkai bunga batu itu dipegangnya.
Matanya yang bening belum juga tertuju padaku. Suaranya hanya terdengar
samar-samar dari tempat dudukku ini. Mendung seakan turun dan menjarah lamunan
yang kukumpulkan sejak pagi tadi.
Tiba-tiba dia menghilang entah kemana, aku
berdiri. Mengamati tempat itu dengan mata yang semakin kulebarkan. Memasang
telinga untuk mencari suaranya yang berdendang. Namun tetap saja sepi, aku
hanya bisa duduk kembali. Menempati posisi semula, ya…aku hanya bisa merebahkan
tubuh letih ini diatas bongkahan batu besar itu. Masih bingung dengan
menghilangnya dia, aku melihat se-ekor kelinci putih yang sepertinya dia
menghampiriku. Aku tersenyum, lalu menangkapnya, meletakkannya dipangkuanku
sambil membiarkannya menguyah rumput hijau itu.
Sepertinya kelinci itu suka padaku, dari gerak telinganya aku tau
dia bahagia. Sebatang rokok yang kunyalakan beberapa menit yang lalu telah
mati. Tapi kemana gadis itu, gadis dengan bunga batu ditanganya. Ingin rasanya
aku bertanya pada kelinci kecil itu, tapi dia tidak akan bisa bicara.Hanya bisa
mencari dan mencari lagi tanpa tau dari mana datangnya tadi.
Seorang perempuan tua berlari kerahku, dari
langkah tergopohnya itu aku tau dia sedang bingung.
“Mas, tolong mas…!”
:Ada apa Bu?”
“Nyonya muda pingsan!”
Aku segera berlari mengikuti wanita itu,
menuju
sebuah villa indah, diamana aku mengamati seorang gadis cantik beberapa menit lalu. Dalam perjalan cepat itu aku sempat bertanya pada wanita itu.
sebuah villa indah, diamana aku mengamati seorang gadis cantik beberapa menit lalu. Dalam perjalan cepat itu aku sempat bertanya pada wanita itu.
“Yang pingsan siapa bu?”
“Nyonya Mas!”
“Kenapa?”
“Kurang tau”
Setelah sampai didalam aku melihat gadis
cantik itu terkulai lemas, membopongnya keatas ranjang, sambil melihat mata
terpejam itu. Setelah memastikan gadis itu aman, aku meminta wanita tua itu
mengoleskan minyak angin.
“Dia kenapa Bu?”
“Saya tidak tau mas!, tapi tadi saya melihat
nyonya muda sedang menerima telephone lalu pingsan!”
Aku hanya diam sambil mengamati gadis itu,
lalu aku menatap wanita tua yang terlihat panik. Setelah menunggu cukup lama,
gadis itu mulai membuka matanya.
“Ibu…”
Lalu dia pingsan lagi.
“Memang keluarganya
ada dimana?”
“Sedang tugas keluar kota”
“Kemana bu…?”
“Kalau tidak salah ke Aceh!”
“Aceh..?”
Aku hanya terdiam tanpa tahu apa yang sebenarnya dialami olehnya…
Sedangkan dua hari yang lalu Aceh telah luluh lantak dan dia hanya bisa
“Sedang tugas keluar kota”
“Kemana bu…?”
“Kalau tidak salah ke Aceh!”
“Aceh..?”
Aku hanya terdiam tanpa tahu apa yang sebenarnya dialami olehnya…
Sedangkan dua hari yang lalu Aceh telah luluh lantak dan dia hanya bisa
menyebut nama ibunya.
Haruskah pertemuanku yang pertama dikarenakan sebuah duka? Ah…Tuhan Maha Besar.
*SEKIAN*