Diary Soe Hok-Gie
10 Desember 1959
Siang tadi, aku bertemu dengan seorang
(bukan pengemis) yang tengah memakan kulit mangga. Rupanya ia kelaparan. Inilah
salah-satu gejala yang nampak di ibu kota.
Ya, dua kilometer dari pemakan kulit
“paduka” kita mungkin lagi tertawa-ketawa, makan-makan dengan istrinya yang
cantik. Dan kalau melihat gejala pemakan kulit itu, alangkah bangga hatiku.
“Kita, generasi kita, ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang mengacau.
Generasi kita yang menjadi hakim atas mereka yang dituduh koruptor-koruptor
tua. Kita lah yang dijadikan generasi yang akan memakmurkan Indonesia.”
“Aku besertamu, orang-orang malang.” Indonesia
sekarang turun, turun dan selama tantang sejarah belum dapat dijawabnya, ia
akan hancur. “Tanahku yang malang.”
Harga barang membumbung semua makin payah. Gerombolan meneror. Tentara meneror.
Semua menjadi teror.
Cuma pada kebenaran masih kita harapkan. Dan
radio masih berteriak-teriak menyebarkan kebohongan. Kebenaran cuma ada di
langit dan dunia hanyalah palsu, palsu.
27 Mei 1960
Bagiku cinta bukan perkawinan. Dulu kurang
lebih 1-2 tahun yang lalu aku yakin bahwa cinta=nafsu. Tapi aku sangsi akan
kebenaran itu. Aku kira ada yang disebut cinta yang suci. Tapi itu akan cemar
bila kawin. Akupun telah pernah merasa jatuh simpati dengan orang-orang
tertentu, dan aku yakin itu bukan nafsu.
8 Februari 1958
Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan murid
bukan kerbau.
12 Juni 1960
Masyarakat Borjuis