Aku
dan bunga dalam mimpi
Oleh: Endik Koeswoyo

“Dek…kesini sebentar!”
Aku mendengar dia memanggilku, lalu aku masuk setelah mematikan
kran air.
“Ada apa Mas?”
“Kamu lihat kartu nama dokter Hendra dilaci
ini tidak?”
Dia mengaduk-ngaduk laci meja diruang
kerjanya itu, sepertinya ada sesuatu yang mengganjal, atau mungkin juga sesuatu
yang dicarinya itu sangat berarti.
“Itu, didalam kotak putih diatas meja!”
Aku menunjuk sebuah kotak dari plastik
diatas meja, kebetulan aku kemarin sempat menelpon dokter Hendra, karena dokter
itu yang selalu menjadi tumpuhanku
dan setiap apa yang dikatakannya selalu kuturuti, walau hanya lewat telpon . Setelah Mas Jon mengambilnya dia cepat-cepat beranjak. Lagi-lagi tanpa berpamitan padaku, lalu aku memanggilnya saat dia hampir menghilang dibalik pintu.
dan setiap apa yang dikatakannya selalu kuturuti, walau hanya lewat telpon . Setelah Mas Jon mengambilnya dia cepat-cepat beranjak. Lagi-lagi tanpa berpamitan padaku, lalu aku memanggilnya saat dia hampir menghilang dibalik pintu.
“Mas…mau kemana?”
Dia berhenti, lalu berbalik dan melangkah padaku, mencium keningku
dan memeluku dengan erat.
“Maaf ya sayang…ada sesuatu yang harus aku
selesaikan, sebentar saja, tidak lama”
“Hati-hati ya Mas!”
Mas Jon merangkulku, lalu kami melangkah
keluar menuju garasi, sempat kulihat dia menarik nafas panjang, mungkin suamiku
itu terlalu lelah bekerja. Sesampainya di mobil dia menciumku lagi, aku hanya
berdiri mematung sampai mobil itu benar-benar menghilang dibalik pagar. Masih
menyisakan beberapa pertanyaan saat aku menutup pintu pagar dan kembali kedalam
rumah. Tidak seperti biasanya dia pergi tanpaku, apa dia sudah bosan denganku,
atau barangkali dia pergi dengan wanita lain? Ah…kenapa pikiranku terlalu kotor
pada suamiku?
Mas Jon adalah lelaki yang sangat
menyayangiku, selama satu tahun ini kami baik-baik saja dan selalu dipenuhi
kebahagiaan, tidak pernah ada keributan berarti dalam rumah tangga kami. Tapi
baru kali ini dia bertingkah seperti itu, entah apa yang terjadi padanya.
Sambil menunggunya aku melihat televisi diruang tamu.
Sudah dua jam Mas Jon pergi, tapi belum
juga kembali. Berkali-kali aku menengok pagar rumah mungil ini kalau-kalau Mas
Jon sudah ada diluar pagar. Pikiranku benar-benar kacau, hari sudah mulai gelap
tapi suamiku tidak kunjung datang, lalu aku melangkah kearah meja kerjanya,
mengangkat gagang telepon dan menekan beberapa tombol.
“Halo, Mas…dimana?”
“Masih dijalan, lima menit lagi sampai”
“Ya sudah, kutunggu
lho!”
Aku keluar, duduk dilantai teras sambil
memandang kearah pintu pagar, tidak lama kemudian kulihat mobil biru milik
suamiku. Aku berlari-lari kecil menuju pintu pagar dan membukanya, setelah
mobil itu masuk aku lalu menutupnya kembali. Kuhampiri Mas Jon yang baru saja
turun dari mobil, kuambil tas kerjanya dan dia mencium keningku, merangkulku lalu
kami masuk kedalam rumah, tidak ada pembicaraan diantara kami, hanya desah
nafas lelah dari suamiku yang terdengar. Sesampainya didalam Mas Jon duduk
disofa, aku menaruh tasnya kedalam kamar. Setelah itu aku menghampirinya, ingin
rasanya aku menayakan tentang kepergiannya tadi, tapi aku takut menyinggungnya.
Aku hanya duduk disampingnya, dia memandangku dalam-dalam sepertinya ada
sesuatu yang disembunyikannya.
“Mas…mandi dulu ya!”
Aku melepaskan dasinya, suamiku hanya diam
dan memandangku. Senyum yang kuberikan sepertinya tidak berarti lagi, benar…ada
yang aneh pada dirinya. Setelah melepas dasi itu, aku kembali melangkah kekamar
menyimpannya dan mengambilkan handuk untuk suamiku tercinta. Walau hari ini dia
terlihat aneh, aku tidak bisa berbuat banyak karena baru kali ini dia lebih
banyak diam. Aku hanya bisa memandangi langkahnya menuju kamar madi.
Sepertinya Mas Jon telah selesai mandi,
kuhampiri dia sambil membawakan pakain bersih.
“Mas…mau langsung makan apa nanti saja?”
“Sebentar lagi ya!”
Nada suaranya kalem, dari wajahnya terlihat ada sesuatu yang
disembunyikan. Aku hanya bisa diam sambil merapikan baju yang baru saja
dikenakannya.
Menemaninya duduk diruang tamu sambil menikmati acara di-televisi,
walau itu jarang kami lakukan tapi aku tetap bisa menyesuaikan diri, karena
biasanya kami langsung menuju meja makan setelah Mas Jon pulang kerja.
“Mas, ada masalah dikantor ya?’’
“Tidak, mungkin aku hanya terlalu lelah,
mungkin juga aku butuh santai dan istirahat”
“Ya sudah, makan dulu terus istirahat dikamar!’
“Aku tadi sudah makan bersama Mas Hendra”
Aku terdiam, tidak biasanya dia makan
diluar, apakah masakanku sudah tidak enak lagi? Saat aku terdiam Mas Jon
tiba-tiba saja mencium pipiku, aku sempat terkejut lalu dia tertawa.
“Kamu belum makan ya Dek…?
“Belum”
Jawabku manja sambil merebahkan kepalaku
didadanya yang kekar, Kudengarkan detak demi detak jantungnya.
“Kamu makan dulu ya?”
“Enggak ah…kalo nggak ada temannya jadi nggak enak”
Aku pura-pura ngambek, kelihat dia
tersenyum. Lalu beranjak dari sofa menuju keruang makan, aku hanya melihatnya
sambil tersenyum dan menunggu apa yang akan dilakukan suamiku itu. Sebentar
kemudian dia kembali lagi sambil membawa sepiring nasi lengkap dengan lauknya
dan segelas air putih. Senyumnya manis sekali, dan senyum itulah mebuatku
tergila-gila padanya. Sehari saja aku tidak melihatnya dunia ini terasa hampa…malam
terasa begitu gelap walau aku berada dibawah lampu dua ratus watt. Mas Jon
duduk kembali disampingku, meletakkan gelas berisi air putih itu diatas meja.
Mas Jon hanya tersenyum sambil mengarahkan sendok kemulutku, aku sangat bahagia
sore itu karena dia menyuapiku. Suap demi suap nasi telah kutelan, senyum demi
senyum dari bibirnya seakan takpernah bosan kupandang.
“Mas, kamu capek ya?”
“Memang kenapa?”
“Aku ingin beli bunga mawar, tapi yang
warnanya biru ada apa nggak ya Mas?”
“Mana ada, mawar biasanya putih, kuning
atau merah”
“Mas tau dari mana?”
“Dari…dari…dari mana ya?”
Dia sangat lucu bila bertingkah seperti
itu, seakan berpikir keras mengingatingat sesuatu, padahal pada akhirnya nati
dia akan bilang dari sebagian organ tubuhku.
“Dari mana?”
“Dari…dari…dari mana ya?”
“Ah…Serius nich!”
“Oh…aku ingat sekarang, dari bibirmu, dari
matamu, dari kulitmu, juga dari rambutmu yang tergerai, mereka bilang ‘tidak
ada mawar warna biru!’ ”
Aku tertawa melihat gayanya yang lucu itu, juga gerakannya yang mebuatku terpingkal-pingkal. Sebuah kebahagian, sebuah anugerah dari Tuhan yang diberikan padaku, ya…seorang suami yang sangat baik dalam segala hal. Kasih sayangnya
Aku tertawa melihat gayanya yang lucu itu, juga gerakannya yang mebuatku terpingkal-pingkal. Sebuah kebahagian, sebuah anugerah dari Tuhan yang diberikan padaku, ya…seorang suami yang sangat baik dalam segala hal. Kasih sayangnya
padaku seakan takterkira, bahkan sejak pacaran dulu dia sangat
menyanyangiku. “Bagaimana?” “Maunya sekarang?” “Terserah Mas Jon aja deh!”
“Kalau begitu sepulang kerja besok saya bawakan”
Aku tersenyum padanya lalu melangkah keruang makan, mencuci piring dan gelas,
merapikan ruangan itu beberapa menit lalu memasukkan makanan yang tersisa kedalam
kulkas, setelah semuanya tertata rapi aku keluar lagi keruang tamu, menemani Mas Jon yang
kelihatannya sedang melamun.
Aku tersenyum padanya lalu melangkah keruang makan, mencuci piring dan gelas,
merapikan ruangan itu beberapa menit lalu memasukkan makanan yang tersisa kedalam
kulkas, setelah semuanya tertata rapi aku keluar lagi keruang tamu, menemani Mas Jon yang
kelihatannya sedang melamun.
“Mas!”
Aku mengagetkannya
dari belakang, tapi dia cuek saja walau kelihatannya dia tadi kaget. Dia hanya
memegang tanganku dengan mesra mengecupnya lalu menarikku perlahan agar aku
merebahkan kepalaku didadanya. Cukup lama aku dan dia menikmati acara di
televisi itu, sesekali Mas Jon mencium dan membelai rambutku.
“Dek…udah malam bobok
yuk!”
“Pagar dan pintunya sudah dikunci Mas!”
“Sudah OK semua”
Aku memeluk pinggangnya erat-erat, sepertinya aku sangat takut kehilangan
dia setelah kami merebahkan tubuh diatas kasur dengan sprei warna biru, Mas Jon dan aku mempunyai kegemaran warna yang sama, warna biru. Hampir semua bendabenda dirumah mungil ini berwarna biru. Kipas angin, piring, gelas, kain pel sampai cat tembok rumah kami bernuansa biru semua. Belum lama kami berada didalam kamar, tapi aku dikagetkan dengan suara ketukan pintu.
“Pagar dan pintunya sudah dikunci Mas!”
“Sudah OK semua”
Aku memeluk pinggangnya erat-erat, sepertinya aku sangat takut kehilangan
dia setelah kami merebahkan tubuh diatas kasur dengan sprei warna biru, Mas Jon dan aku mempunyai kegemaran warna yang sama, warna biru. Hampir semua bendabenda dirumah mungil ini berwarna biru. Kipas angin, piring, gelas, kain pel sampai cat tembok rumah kami bernuansa biru semua. Belum lama kami berada didalam kamar, tapi aku dikagetkan dengan suara ketukan pintu.
“Mas…pagarnya sudah
dikunci kan?”
“Sudah”
“Tapi siapa yang
mengetuk pintu?”
“Paling-paling hantu”
“Mas, jangan
macem-macem ah…”
Mas Jon sepertinya tidak begitu peduli
dengan suara orang mengetuk pintu tadi.
“Mas…coba dilihat sebentar!”
“Ogah…takut!”
“Kalau pencuri bagaimana?”
“Apa yang mau dicuri kita? Paling juga
bunga-bungamu itu!”
Aku diam, aku tidak tau kenapa Mas Jon
begitu aneh seharian ini. Sepertinya orang yang mengetuk pintu tadi telah
pergi, atau mungkin benar kata Mas Jon kalau itu hantu, lalu aku melihat kearah
suamiku, dia tersenyum padaku.
Pagi-pagi sekali aku sudah bangun,
sementara suamiku masih terlelap dalam mimpinya. Saat aku membuka pintu depan,
aku sangat terkejut diteras rumah ini telah berjajar beraneka bunga mawar
warna-warni, sedangkan setangkai mawar biru diletakkan tepat didepan pintu. Aku
mengambilnya ‘untuk istriku tercinta, kamu lupa ya? Hari ini, 4 tahun lalu,
pada hari yang sama kita pertama bertemu ditoko bunga, dan saat ini aku membawa
semua bunga mawar dari sana, aku selalu mencintaimu’. Sebait kata yang tetulis
dikertas itu kubaca berulang-ulang, lalu aku menciumnya. Saat aku membalikkan
badan ingin masuk kedalam dan memeluk Mas Jon yang tadi masih tidur, aku
terkejut karena dia telah ada dibelakangku sambil tersenyum manis. Aku
menghambur kepelukannya dan menangis.
***
Kebahagianku itu kini tinggal kenangan, Aku
hanya bisa memandang fotonya saja. Tuhan telah memanggilnya saar dia harus
tugas ke-Aceh. Terima Tuhan…telah memberiku suami sebaik dia.
*SEKIAN*