Sebelum
Gerimis Tiba
Oleh: Endik Koeswoyo
Hari ini, ketika langit sedikit redup
dengan awannya yang menutup sebagian sinar matahari, Dita memilih diam sambil
menatap lalu-lalang teman-temannya yang hendak segera pulang. Dinding kantor
satpam kecil itu menjadi pilihannya untuk bersandar sambil menuggu jemputan.
Beberapa teman yang menyapanya hanya diberikan sahutan kecil, senyum atau
anggukan kepala.
“Dit, gue anter yuk!” Yogi tersenyum manis
di atas motornya.
“Makasih deh Gi, gue nunggu nyokap aja!
Udah janji nich!” Dita memandang alroji kecil kesayangannya.
“Serius nggak mau gue anter?” Yogi
menawarkan untuk kedua kalinya.
“Iya, makasih.” Dita tersenyum kecil.
Yogi membalas senyuman itu sambil berlalu,
meningglakan Dita yang masih bersandar pada posisi yang sama. Sesaat kemudian
suasana hening, hiruk-pikuk itu telah lanyap seakan di telan bumi hanya dalam
hitungan menit. Tidak ada lagi tawa, tidak ada lagi deru kendaraan juga tidak
ada sapaan yang didengarnya. Dita bertahan dengan kesendiriannya. Pak Karmin
satpam sekolahan itu tampak
duduk bersandar di kursi kesayangannya, nafasnya
teratur dalam tidur siangannya yang sangat tidak nyaman.
Berkali-kalai Dita mengamati ujung jalan
yang sepi, berharap Mamanya segera datang menjemput. Sesekali tangan lembutnya
mengibas-ngibaskan rambutnya yang panjang sebahu itu. Burung-burung gereja
mulai turun kehalaman sekolah, setelah seharian mereka bertengger dan bermain
main diatas pohon pinus belakang. Dita tesenyum melihat kerumunan burung kecil
itu. Ingin arasanya dia menyentuh lalu bermain-main dengan mereka. Terbang
kelangit tinggi dan menemukan seorang pangeran impian di sana.
“Dita...kamu belum pulang?”
Dita terkejut dengan sapaan itu. Dia segera menoleh kearah
datangnya suara.
“Ehmm...?” Ada banyak pertanyaan tentang seorang cowok yang
menyapanya.
“Elo Dita anak baru itukan? Kenalin, gue
Arle.” Arle menglurkan tangannya pada Dita.
“Iya. Ehmm ...gue Dita. Kok gak pernah
lihat elo sih di skul?” Dita menjabat tangan cowok di hadapannya itu denga
senyum yang merekah.
“Ehm...kita beda kelas aja, jadi jarang
ketemu!” Arle menyandarkan tubuhnya di samping Dita. Cowok itu lalu mengarahkan
pandangannya kepada burung-burung yang asyik bercanda di hadapan mereka.
Dita melirik kerah Arle yang hanya diam
saja. Kesan pendiam langsung terlihat di wajah pemuda itu. Dandanannya rapi,
baju bersih dan sebuah tas cukup besar melekat di bahu kanannya. Sebuah
harmonika di genggamnya erat dengan tangan kiri. Bisa jadi dia kutu buku yang
saat itu sedang berkhayal menjadi tokoh dalam buku bacaannya. Atau
jangan-jangan dia cowok psiko yang yang sedang mencari mangsa? Hih.... Dita
bergidik kecil sambil mengalihkan pandangannya kedalam ruang satpam.
“Arle! Elo nunggu jemputan juga?” Dita membuka
pembicaran lagi setelah sekian lama keduanya hanya diam.
“Gue naik angkot kok!” sahutnya pelan tanpa
memperhatikan Dita.
“Trus elo ngapain disini?” lanjut Dita.
“Nemenin elo aja! Nggak baik cewek
sendirian, apalagi cuanya lagi kurang baik!”
Dita diam lalau menarik nafas panjang. Apa
yang dimaksud Arle belum begitu jelas dimerngerti olehnya. Sebagai gadis baru
di sekolah itu, Dita memang belum begitu mengenal banyak orang. Tapi Arle bisa
tau namanya, dan kini menemaninya? Lagi-lagi Dita harus terdiam, dia seakan
tidak ingin mengganggu keasyikan Arle yang mengamati burung gereja.
Arle masih dalam posisi yang sama ketika
sebuah mobil sedan biru berhenti didepan gerbang. Ekspresinya masih tetap,
dingin dan cuek dengan apa yang ak dilakukan Dita.
“Eh...gue pulang dulu ya!? Makasih mau
nemenin gue!”
“Iya, hati-hati!” lagi-lagi Arle tidak
emmandang kerah Dita sedikitpun. Mata tajamnya masih tertuju pada burung-burung
itu.
Dita tersenyum kecut dengan banyak
pertanyaan yang mengganjal di hatinya. “Huh cowok yang aneh!” guman Dita pelansambil
membuka pintu mobil.
“Teman kamu Dit?” tanya wanita cantik di
dalam mobil itu.
“Iya Ma! Nunggu jemputan juga!” sahut Dita sekenanya sambil
menutup kaca mobil.
Mobil melaju pelan melintasi jalan yang
sepi, lalu sebentar kemudian berbelok kerah jalan raya dan kebisingan tidak
bisa terhindarkan lagi. Klakson-klakson mobil berbunyi bergantian, seakan
menunjukkan keangkuhan kota jakarta. Mobil semakin lama semakin melambat karena
kemacetan kota Jakarta. Dita diam membisu, langit semakin pekat dan gerimis
mulai turun. Arle...nama itu masih terngiang jelas di telinganya, juga sentuhan
jabat tangan lembut itu sekan masih terasa olehnya. Apalagi senyum cowok cuek
itu, melekat erat di matanyanya yang bening.
Lebih dari 30 menit Dita hanya memikirkan
Arle, Arle dan Arle. Bahkan ketika mobil itu telah berhenti di garasi Dita
seakan belum tersadar kalau dia sudah sampai di rumahnya.
“Dita, tolong ambil belanjaan Mami di
bagasai ya!”
“Eh...iya Ma!” Dita buru-buru keluar dari
mobil setelah menerima kunci dari mamanya.
“Dita, elo lihat novel baru gue nggak?”
Irma kakaknya Dita muncul dari bali pintu.
“Yang mana?” Dita membuka bagasi belakang
lalau menurunkan bebepa buah bungkusan plastik.
“Cowok yang terobsesi melati!” Sahut Irma
lalu membatu gadis itu mengangkat dan memabawa belanjaan masuk kedalam.
“Oh...ada di kamar gue, tapi belum selesai
bacanya!”
“Ye...gue juga belum selesai!” Irma
mencibir genit.
Keduanya lalu meletakkan barang-barang itu
di meja dapur. Irma dan Dita tidak jauh beda, usianya mereka hampir sama dan
hanya terpau 2 tahun. Dita kini baru kelas Dua SMU sementara Irma sudah kuliah
semester Satu. Sebgai saudara keduanya baik-baik saja, saling menyayangi dan
saling mengerti walau kadang-kadang Dita sering kena semprot kakaknya gara-gara
mengambil buku-buku tanpa ijin.
“Eh...Dita! Elo tadi dapat telpon.”
“Dari siapa kak?”
“Siapa ya?” Irma beusaha mengingat sesuatu.
“Kalau tidak salah namnya Arle!” Irma melankah meningglakan dapur.
“Heh! Ada pesen nggak?” Dita mengejar
langkah kakanya.
“Nggak ada, dia cuma nanya kamu udah sampai
rumah apa belum?”
“Oh...” Dita berhenti, membiarkan kakaknya
pergi menaiki tangga menuju keruang atas.
Gadis cantik itu memilih duduk di sofa
sambil mengamati telepon yang ada diatas meja sudut ruangan. entah apa yang
dipikirkannya.
“Dita! Ganti baju dulu sana!”
Teguran mamanya membuat Dita yang masih berseragam itu segera
beranjak dari sofa dan melangkah menaiki tangga menuju kekamar. Kini, di dalam
kamarnya yang tertata rapi, Dita merebahkan diri di kasur, matanya menerawang
jauh memikirkan pertemuan tadi siang. Arle manjadi bayangan yang aneh, indah
atau bahkan menakutkan. Semua menjadi asing dan misteri di benaknya. Apakah
Dita jatuh cinta pada pandangan pertama? Ah nggak mungkin benget rasanya.
Pandangan pertamalangsung jatuh cinta? Itu hanya pada cerita-cerita film,
sinetron atau novel-novel yang sering di baca irma. Ah...rasanya tidak mungkin
bila Arle memainkan harmonika di atap rumahnya sambil memikirkan Dita.
Dita masih terkacaukan oleh pikirannya
sendiri. Seragam abu-abu putih masih melekat di tubuh mungilnya. Harmonica?
Yah...harmonikaitu sepertinya di kenalnya. Seperti milik sahabat kecilnya dulu
ketika Papanya masih tugas di Surabaya. Tapi milik siapa? Dita sudah lupa,
maklum dia di sana hanya tiga bulan. Pokoknya yang diingat Dita adalah teman
TK-nya. Namanya saja lupa apalagi wajahnya? Tapi harmonica yang tadi siang di
pegang Arle itu mengingatkannya pada sahabat lecilnya. Dulu...
“Dita, di panggil mama tuh! diajak makan!”
suara Irma yang melengking dari balik pintu membuyarkan lamunannya.
“Eh...iya bentar masih ganti baju!” dengan terburu-buru Dita
mengganti bajunya. Sedetik kemudian dia berlari keluar kamar lalu duduk di meja
makan bersama Irma da Mamanya. Pikiranya masih melayang jauh, jauh sekali.
Kembali ke masa kecilnya dulu. Dan Arle sesekali melintas di benaknya.
***
Malam tadi, Dita tidur tidak terlalu
nyenyak. Bahkan dia telat 5 menit ketika di seokolah. Kini ketika lonceng tanda
istirahat di bunyikan Dita langsung ngacir keluar. Menunggu Mei sahabat di
depan pintu.
“Ada sih Dita? Kok ada yang aneh dengan
kamu hari ini?” Mei memegang bahu Dita sambil menguncang-guncangnya pelan.
“Eh...elo kenal sama Arle nggak?” wajahnya
memerah malu-malu.
“Arle si kutu buku? Cari aja di perputakaan pasti ketemu! Emang
kenapa ngusilin kamu?”
Dita langsung nyelonor pergi tanpa menghiraukan
pertanyaan Mei. Langkahnya pasti, menuju perpustakaan. Di depan pintu, Dita
berhenti sebentar menghela nafas pelan lalu merapikan rambutnya dengan
jar-jari. Memandang tubuhnya sendiri lalu melangkah masuk. Di antara banyak
anak-anak yang duduk di bangku itu Dita menebarkan pandangannya. Dan dia
menemukan Arle di salah satu bangku, sendiri dengan setumpuk buku di
sampingnya. Sekali lagi, Dita menarik nafas panjang lalu mendekat kearah Arle.
“Hai...” sapanya pelan sambil duduk di samping Arle.
“Eh...elo, suka baca juga?” Arle hanya
menolah sebentar lalu mengembalikan pandangannya ke buku lagi.
Dita hanya mengangguk pelan walau angukan itu tidak di perhatikan
Arle.
“Arle, gue boleh nanya nggak?” lanjutnya kemudian.
“Nanya apa? Selama gue bisa akan gue
jawab!” Arle masih tetap asyik dengan buku yang di bacanya.
“Elo waktu kecil dimana?” Dita berusaha
membuang rasa takutnya, mebuang debar-debar tidak nyaman di hatinya.
“Jadi elo sudah inget?” Arle menutup buku yang di bacanya.
Dita terhenyak mendengar pertnyaan itu.
Dita yakin kalau mereka saling kenal dulunya.
“Ehmm...elo temen gue waktu TK di
Surabaya?” Dita memandang Arle penuh harap akan jawaban pasti.
“Iya.” jawabnya
singkat sambil tersenyum kecil.
Huh...Dita
menghembuskan nafas panjang. Ternyata harmonika dan pertemuan sebelu gerimis
kemarin mampu membuatnya teringat akan seorang sahabat waktu kecil yang sudah
belasan tahun tidak bertemu. Dita tertawa kecil sambil mengamati Arle. Berusaha
mengingat semuanya, mas kecil dulu yang samar-samar teringat kembali. Bercanda,
bertengkar lalu menangis. Arle, pemuda itu kin sungguh gagah, tubh kerempengnya
yang dulu telah berganti dengan tubuh yang padat berisi. Apalagi senyumnya
oh...membuat Dita harus menunduk malu-malu.
“Keluarga menetap
disini?” lanjut Arle sesaat kemudian.
“Iya! Elo?” balas Dita sambil mengambil sebuah buku di sampingnya.
“Iya. Aku berharap ini kota terakhir yang gue singgahi!”
“Ehm...” Dita seakan bingun mau berkata apa lagi.
Keduanya lalu terdiam. Mengembalikan ingatan keduanya ke masa lalu. Arle memandang Dita tajam, lalu mengeser duduknya agar lebih dekat.
“Iya! Elo?” balas Dita sambil mengambil sebuah buku di sampingnya.
“Iya. Aku berharap ini kota terakhir yang gue singgahi!”
“Ehm...” Dita seakan bingun mau berkata apa lagi.
Keduanya lalu terdiam. Mengembalikan ingatan keduanya ke masa lalu. Arle memandang Dita tajam, lalu mengeser duduknya agar lebih dekat.
“Dit...selama ini
nggak tau kenapa gue selalu teringat sama elo! Aneh banget deh! Sepertinya, gue
jatuh cinta sama elo ketika gue di TK dulu, tapi...ha...ha...” Arle
menghentikan tawanya lalu tertawa ngakak. Beberapa orang yang ada di perpus
memandangnya. Buru-buru dia berhenti tertawa karena mengganggu yang lain.
“Maksud loe?” Dita
penasaran dengan cerita kecil itu.
“Ya...nggak yau juga. Aneh gitu deh kalau aku ngeliat foto-foto elo!”
“Hah foto-foto? foto yang mana? Kita bertemu saja baru kemarin!”
“Ya...nggak yau juga. Aneh gitu deh kalau aku ngeliat foto-foto elo!”
“Hah foto-foto? foto yang mana? Kita bertemu saja baru kemarin!”
Dita tidak bisa menyembunyikan
rasa penasarannya. “Nich!” Arle membuka sebuah buku catatan miliknya. Lalu mengeluarkan
dua lembar foto dari sana.
Dita tertegun, memandang masa kecilnya
dulu. sebuah gaun putih panjang, rambut panjang sepinggang dan senyum polosnya.
Foto itu masih terlihat bagus padahal sudah hampir sebelas tahun.
“Gue mencetek ulang foto itu sudah dua
kali.” guman pelan Arle.
Dita masih memandang foto yang satunya
lagi. Kali ini wajahnya terlihat lebih jelas, foto hitam putih setengah badan.
Dita menarik nafas panjang dan menghembuskannya pelan. Dia punya foto semacam
itu di rumahnya, tapi sudah rusak. entah angin mana yang membuat ingin tau
lebih banyak. Lembaran itu itu di balik olehnya. Ada tulisan disana;
Dita
Aryanti Dewi, Blitar 15-98-1990.I love you forever....
Dita mengalihkan pandangan matanya ke arah
pemuda di sampingnya. Arle...yang kini menunduk dalam membuat Dita semakin
penasaran. Apakah kata-kata di balik foto itu benar dia yang menulis? Kapan?
Maksudnya apa? Hanya Arle yang tau. Pemuda itu kini tidak lebih sekedar patung
hidup yang membisu seribu bahasa. Hanya Dita yang menemukan bunga-bunga kecil
di hatinya, senyumnya mengembang dan wajahnya memerah. Diakan pahlawan peniup
harmonika yang datang dan pergi tidak diundang? Diakan pembawa cinta yang akan
mengisi hatinya kelak?
Keduanya membiarkan suasana menjadi bisu,
saling diam tanpa berbuat banyak. Membiarkan semua di bicarakan oleh perasaan
dan hati. Membiarkan gerimis yang sebentar lagi turun menyirami benih-benih
indah itu dan membiarkannnya pula untuk menyatakan akan apa arti cinta...(End)
*SEKIAN*