RSS

Menginginkan
Mempernahkan
Mengalami
Melatihkan
Mempelajari
Mencari

Bayangan Darah

Oleh Yanusa Nugroho

Setelah semua perkelahian ini, lalu apa? Setelah perseteruan ini, lantas apa? Masih adakah yang tersisa ketika kita habiskan seluruh kebencian dan sakit hati ini? Ataukah kita memang dilahirkan untuk saling bunuh? Mungkinkah kebencian adalah kehidupan kita? Dan tanpa itu, kita bahkan tak berbekas sama sekali?

Dua sosok itu termangu oleh pikiran masing-masing. Tubuh mereka menua. Napas mereka memburu, tetapi keinginan untuk saling bunuh masih saja menyala di mata mereka.

”Mengapa tak kau akhiri saja semua ini, di sini, sekarang juga…,” ucap yang satu dengan suara setengah menggeram.

”Aku pun heran, mengapa kau berlama-lama dengan urusan ini?” balas yang satunya dengan suara penuh dendam.

Sejak benda yang konon turun dari langit itu berada di tangan Anjani, kedua laki-laki itu seperti tersihir untuk merebutnya. Tak perlu alasan lain, keduanya sangat ingin memiliki benda ajaib yang berasal dari matahari itu. Benda yang mampu melihat dunia dan isinya. Benda yang berisi pengetahuan tentang masa lalu dan mendatang. Benda yang mampu menjawab apa yang masih menjadi pertanyaan manusia.
Keduanya masih mengatur napas, menghirup udara jeda, setelah tujuh hari tujuh malam baku hantam. Siang terik, ketika bergulat, tubuh mereka berkeringat, dan matahari membuatnya seolah jilatan kilat. Batu hancur, pohon tumbang, tanah berlubang, debu mengepul, menjauh, karena tak kuasa menahan hantaman tubuh-tubuh yang terjengkang. Malam, tubuh mereka berpijar ketika tangan mereka saling gampar. Angin malam hanya hilir mudik, mengamati pergumulan yang entah kapan akan berhenti.

Ibu mereka hanya menitikkan air mata beku, tubuhnya membatu.

Mereka, kedua anak laki-lakinya itu, sesungguhnya lahir dari sebuah dendam. Dendam yang tumbuh dari benih keinginan yang tak terpenuhi. Dan ketika mereka tumbuh dan saling memusuhi, sang ibu pun tak lagi bisa berbuat apa-apa. Jika saja dia tahu semua akan menjadi seperti saat ini, tentu kedua bayi kembarnya itu telah dibunuhnya, jauh bahkan ketika mereka masih di dalam rahimnya. Akan tetapi, siapakah yang mampu melawan kasih sayang?

Bahkan ketika benda langit itu—yang menurut sang ayah menjadi penyebab perkelahian anak kembarnya itu—dibuang ke udara, perkelahian mereka tak bisa dihentikan sama sekali. Mereka melesat, adu cepat, memburu, mengikuti ke mana benda langit itu akan jatuh. Berhari-hari mereka berlari, menerabas hutan, menghancurkan sawah ladang, melesat meninggalkan kobaran api di hamparan kering ilalang. Mereka berlari seperti adu kencang melawan angin, seolah terbang, sedemikian rupa sehingga seolah mereka lupa, apa sebenarnya yang tengah mereka kejar.

Hingga berminggu-minggu kemudian, ketika masing-masing mengira benda langit itu tenggelam di dasar telaga, barulah keduanya berhenti sejenak. Mereka berseberangan. Setelah bersitatap sesaat, seolah saling memperhitungkan langkah lawan, tiba-tiba mereka melompat dan menghilang ke perut telaga.

Sebatang pohon kawista tua, yang entah sejak kapan tumbuh di pinggir telaga, hanya sedikit mengangguk-anggukkan tubuhnya—ah, barangkali saja dia menggeleng-geleng; siapa yang peduli? Tak ada yang peduli apakah sebatang pohon mengangguk atau menggeleng, bukankah itu semua hanya penamaan dan celakanya manusia hanya punya keterbatasan kata-kata. Yang jelas, pohon kawista itu tersenyum menertawakan kedua manusia yang tiba-tiba menceburkan diri ke dalam telaga.

Seekor capung dengan sepasang matanya yang tak pernah berkedip itu menatap permukaan telaga. Sesaat kemudian menatap kawista, untuk kemudian memandangi permukaan telaga kembali. Hanya ada gelembung udara membuih. Telaga seperti wajah bayi yang lelap pulas dibuai mimpi.

Sementara di perut telaga, seekor ikan gabus tua, yang kumisnya melintang, memanjang mirip lengan gurita, mencoba mempertanyakan apa yang disaksikan matanya. Ketika dia tengah menunggu udang-udang kecil yang bodoh, bermain-main di dekat kumisnya—yang tentu saja akan segera disantapnya dengan tiba-tiba, matanya menangkap sebuah pendar cahaya jatuh dari langit dan tenggelam ke dasar telaga.

Bersamaan dengan gerak lamban benda bercahaya itu, yang perlahan-lahan tenggelam, tibatiba gabus tua itu seperti disadarkan bahwa dirinya adalah sebuah ciptaan. Dia tiba-tiba merasakan daya hidup luar biasa dan karenanya dia mampu mengagumi sebuah keindahan. Itu saja. Pendar cahaya itu kemudian menghilang di dasar telaga, dan dengan sendirinya air telaga menjadi serba temaram kembali.

Namun, baru beberapa saat si gabus merasakan keheningannya kembali, dan tepat ketika seekor udang kecil mengendus-endus bibirnya, tiba-tiba sebuah ceburan dahsyat terjadi di permukaan. Si gabus ternganga, si udang melejit entah ke mana. Dua benda jatuh bersamaan. Meluncur deras menuju dasar telaga, menyisakan buih putih di belakangnya.

Samar-samar, mata si gabus tua bisa menangkap yang jatuh itu adalah dua manusia. Matanya cukup hafal akan sosok makhluk bernama manusia itu. Namun, inilah yang pertama kali terjadi dalam hidupnya; mungkin hanya pernah terjadi di zaman moyang para gabus. Dua manusia itu, dalam perjalanannya menuju dasar telaga, tiba-tiba berubah menjadi kera. Kera bertubuh manusia. Lengan-lengan mereka berbulu. Wajah mereka berbulu. Dan di kedua ujung punggung mereka menjulur ekor panjang.

Yang juga tak dipahami oleh otaknya yang kecil itu adalah ketika dua manusia-kera itu, begitu menyadari bahwa ada ”sosok” asing, yang sama-sama melaju, tiba-tiba berhenti. Tubuh mereka melayang di perut telaga dan dengan tiba-tiba pergulatan pun terjadi.

Perkelahian. Bukan, ini sebuah nafsu membunuh yang tumpah begitu saja. Karena, di mata si gabus, keduanya benar-benar tak memiliki ampun bagi lawan. Seakan mereka hanya mau berhenti jika lawan mati. Bisakah kau menciptakan nama untuk kekejian ini?

Sesekali mereka berebut menuju dasar, tetapi sesaat kemudian, setelah pergulatan saling menghalangi terjadi, keduanya meluncur ke permukaan. Begitu berulang kali.

Para batu yang tertidur abadi terbangun oleh arus panas dua makhluk itu. Dalam diam dan kebekuan pandangan, mereka bersepakat dengan palung dan air untuk mengirimkan kembali kedua makhluk itu ke permukaan.

Maka, gabus tua itu menyaksikan dengan mata kepalanya kedua makhluk itu termuntahkan ke permukaan. Seketika telaga temaram dan sejuk kembali.

Sebaliknya, pohon kawista yang tengah terkantuk-kantuk setelah tadi tersenyum, atau menggeleng, mendadak terkejut. Seandainya saja dia tak berakar, tentu dia sudah terlontar entah ke mana. Tiba-tiba dua makhluk aneh, seperti manusia sekaligus kera, terlontar tinggi ke udara bersama semburan air dahsyat dari dasar telaga.

Dua tubuh itu terpelanting tak berdaya, satu ke kiri, yang satu ke kanan. Jatuh berdebuk ke bumi dan tak sadarkan diri. Hening. Capung-capung merubung, mungkin curiga. Di sela-sela bunga kemuning, lebah mendengung mendambakan madu bening. Uir-uir mendetir-detir, mewartakan keheningan hingga ke pinggir-pinggir.

Namun, itu semua hanya beberapa saat. Kelopak mata masing-masing mulai berkedut-kedut. Ada kehidupan kembali pada tubuh mereka. Sesaat kemudian keduanya menggeliat. Seperti disengat oleh ingatan purba, mereka melanjutkan perkelahian itu kembali. Begitu saja.

Matahari mulai melorot, merah, lelah memelototi dua makhluk yang masih saja saling menimpakan maut kepada lawannya. Malam gulita, seolah meniru seorang dewi yang bersumpah tak ingin menyaksikan matahari, dan kedua manusia-kera itu belum tahu kapan akan mengakhiri laga mereka.

Sementara itu, telaga itu sendiri, oleh daya gaib benda bercahaya yang ada di dasarnya, telah berubah menjadi sebuah dunia. Gabus tua itu kini sudah bisa mengenali sanak saudaranya, dan membentuk keluarga-keluarga baru, beranak pinak, bercucu dan bercicit. Udang-udang pun yang tak lagi terancam tertelan gabus-gabus mengembangkan kebudayaan mereka di sela-sela karang di dasar telaga. Adapun ras para batu berkembang dalam kebekuan dan tidur abadinya. Tubuhnya dipersembahkan bagi kaum lumut untuk berkembang dan menebal hijau. Dan kaum lumut kian sadar bahwa dirinya tercipta sebagai dunia bagi kaum kriwil kecil tak kasatmata.

Aneh memang. Telaga dan penghuninya itu seolah mendapat cahaya baru, pengertian baru, pandangan baru tentang keberadaan mereka.

Kawista, yang menyerap air telaga, kini berkembang biak dengan buah-buahnya yang manis. Dia kian muda dan karenanya buahnya bertambah lebat. Di sepanjang bibir telaga kini telah tumbuh ratusan batang kawista muda, di sela-sela kemuning, soka, dan bunga api rimba.

Namun, manusia-kera itu belum juga menyudahi sengketa mereka. Hidup mereka sudah kusut masai, tetapi perkelahian mereka belum usai.

Mereka telah benar-benar lupa, apa yang membuat mereka berlaga. Mereka mungkin sudah tak peduli mengapa mereka ingin membuat hidup lawan tersudahi.

Bulu-bulu di tubuh mereka sudah mengelabu termakan waktu, tetapi keinginan membunuh masih saja menggebu.

Seribu tahun berlalu dan mereka belum juga jemu. Perkelahian mereka menjadi adat yang dipahami manusia sebagai teladan. Ketika dunia dipenuhi manusia yang selalu terburu waktu ke mana pun mereka menuju, pergulatan manusia-kera itu masih berkelebat, berpijar, di sana-sini.

Tak perlu lagi alasan mengapa sebuah perkelahian terjadi, karena bukankah sudah seperti makan, minum, tidur, dan bercinta? Rasanya kurang pas jika dalam hidup tak ada laga, begitulah angin berkisah tentang pengalaman perjalanannya mengelilingi dunia.

Para orangtua hanya merenung, memandangi kelebatan bayangan yang melintas dan melibas peradaban anak cucunya. Mereka menyebut dua manusia kera itu Sugriwa-Subali. Perseteruan yang tak pernah usai. Perselisihan yang tak pernah lerai. Persengketaan yang tak kunjung selesai.

Bumi seakan tak lagi dihuni para laksmi. Mereka pergi menuju kayangan Saraswati karena bumi telah tak lagi suci.

Dua manusia kera itu terkutuk dalam sebuah laga tanpa tepi. Mungkin saja mereka sengsara, tetapi sekali lagi itu hanya kata-kata yang, sekali lagi, hanya sebatas itu yang kita pahami. Mereka kembali mendengar gaung suara itu, yang seakan mengingatkan mereka akan sesuatu. Setelah semua ini, lalu apa? Setelah perseteruan ini, lantas apa? Masih adakah yang tersisa ketika kita habiskan seluruh kebencian dan sakit hati ini? Ataukah kita memang dilahirkan untuk saling bunuh?

Namun, sekali lagi, perkelahian itu sudah mengadat, padat, dan mereka—dua manusia-kera itu—terkurung di dalamnya tanpa daya sama sekali.

Bukit Nusa Indah, 1982