RSS

Menginginkan
Mempernahkan
Mengalami
Melatihkan
Mempelajari
Mencari

SAM PO KONG (Episode 6-10)

Karya Remy Sylado

Ya, sudah. Apa boleh buat? Liu Ta Xia terpaksa pergi dengan berat kaki ke tempat sang kaisar akan mengumumkan gagasan itu. Dia duduk di sebelah kanan, berhadapan dengan Ceng Ho yang berada di sebelah kiri. Setelah semua berada di balairung barulah Zhua Di datang. Dia kemudian duduk di kursi kebesaran.

"Perhatikanlah sekeliling ini, Ceng Ho," kata sang kaisar, Zhua Di. "Aku juga meminta semua yang hadir di sini memperhatikan Ceng Ho. Hari ini aku akan bersabda kepada semua yang hadir, suka atau tidak suka mendengarkan keputusanku mengangkat Ceng Ho selaku Sam Po Kong untuk memimpin pelayaran muhibah ke selatan.

"Muhibah ini sangat penting bagi Negeri Cina. Sebab dengan tindakan ini orang di seluruh dunia akan memandang Tiong Kok sebagai pusat negeri dan mengenang Dinasti Ming sebagai lambang peradaban paling tinggi dan kebudayaan paling dibya. Citra Tiong Kok dan Dinasti Ming akan sangat ditentukan oleh kemampuan Ceng Ho memimpin pelayaran muhibah. Saya minta semua memberi hormat kepada Sam Po Kong."

Semua memberi hormat kepada Ceng Ho.

"Sekarang kita ingin mendengar apa kata Ceng Ho," kata Zhu Di seraya mengangkat tangan kanan, menyuruh Ceng Ho bicara.
Ceng Ho memberi hormat khusus kepada Zhua Di. Dia berkata dengan sangat takzim, "Hamba patuh, Paduka Kaisar. Hamba sudah mengabdi dengan patuh dan setia kepada Dinasti Ming sejak hamba muda belia, sejak pemerintahan ayahanda Paduka, Zhua Yuan Zhang, hingga pemerintahan Paduka. Hamba, putra Ma Ha Zhi, orang Yun Nan, yang ketika itu bernama Ma He, sudah menjadi sida-sida bagi Ming. Hamba pun sudah berperang demi Paduka untuk mengalahkan bala tentara Zhu Yun Wen di Nan Jing. Maka, daulat Paduka Zhua Di yang bijak bestari, sekarang pun hamba tetap patuh dan setia kepada segala keputusan Paduka."

"Aku senang mendengar itu, Ceng Ho," kata Zhu Di. "Semua yang hadir di sini sekarang perlu tahu, ada banyak tugas harus dikerjakan Sam Po Kong. Aku akan memerincinya sekarang."

Jeda sejenak. Zhu Di melihat semua yang berada di balairung. "Begini... walaupun yang akan aku sebut pertama dan kedua berikut bukan prioritas utama, keduanya harus diingat Ceng Ho sebagai tanggung jawab yang penting."

"Hamba siap mendengar dan melaksanakan, Paduka Kaisar," kata Ceng Ho merukuk di hadapan Zhu Di.

"Pertama, mencari dan menangkap raja terguling Zhu Yun Wen yang mungkin melarikan diri ke Campa atau mungkin juga ke Siam. Kedua, menangkap juga bajak laut Cina, Cheng Chi Yi, yang sekarang mengangkat diri menjadi raja di Palembang."

"Daulat Paduka, insya Allah demi pertolongan-Nya, hamba berjanji di hadapan Paduka Kaisar yang bijak bestari untuk melaksanakan amanat ini demi kejayaan Ming dan kebesaran Tiong Kok," kata Ceng Ho. "Setelah itu hamba sekarang siap mendengarkan prioritas utama apa yang harus hamba laksanakan."

"Baik," kata Zhua Di. "Prioritas utama Sam Po Kong dalam pelayaran ke selatan sebagai misi muhibah adalah menjalin hubungan persaudaraan dengan negeri-negeri berpenduduk muslim, terutama dengan orang-orang Cina yang menjadi mubalig di tanah Jawa. Harus ditekankan, mereka semua adalah saudara-saudara kita. Setelah itu jangan lupa menjalin hubungan karib dengan masyarakatnya, membuka jaringan perdagangan di bawah pedoman saling menguntungkan dalam persaudaraan yang tulus. Karena itu jika ada anggota kita dalam ekspedisi yang menyimpang dan tidak berjalan di atas alur kebijakan ini, sebagai pemimpin kau punya hak bertindak, menindak, bahkan menghukum."

"Daulat Paduka, insya Allah hamba laksanakan perintah Paduka Kaisar," kata Ceng Ho.

"Negara menganggarkan dana untuk ekspedisi ini tujuh kali pulang-pergi pelayaran, 208 unit kapal serta 28.000 awak. Kau pun punya hak menyeleksi orang-orang yang akan berlayar. Jangan bawa orang yang tidak sepaham dengan gagasan ini," kata Zhua Di.

Di tempatnya Liu Ta Xia melengos dengan mulut melengkung ke bawah. Itu dia buat sebagai ganti menggeleng yang hampir dilakukannya. Dan, kendati melengos, tidak menarik perhatian seperti seandainya dia menggeleng, Zhu Di dapat menangkap isyarat tertentu yang tumbuh di bawah hati kecil Liu Ta Xia.

Karena itu berkatalah Zhua Di dengan memandang tajam ke arah Liu Ta Xia.

"Kelihatannya Menteri Ekonomi dan Keuangan Liu Ta Xia hendak berkata sesuatu. Apakah dugaanku tidak salah, Liu Ta Xia?"

Liu Ta Xia berperangah. Kekagetannya membuat kagok. Selintas dia tampak seperti orang yang baru tergelincir. Kata-katanya terpatah, tapi dia cepat menguasai diri. "Tidak Paduka."

Zhua Di sekadar memberi telinga. Pertanyaan berikut bukan menguji, melainkan barangkali memancing. Katanya, "Apa maksud Anda, 'Tidak'? Apakah itu berarti: aku tidak salah menduga? Atau, apakah itu berarti: Anda tidak hendak berkata apa-apa?"

Liu Ta Xia menjadi culun bukan atas kemauannya, melainkan penemuan diri yang tak lepas dari sekadar mengenal naluri bersejarah dari kodratnya sebagai orang bawahan Kaisar. Katanya dengan kesungguhan tidak terncana, "Apa pun Paduka Kaisar. Aku memang tidak hendak berkata apa-apa."

"Baguslah," kata Zhua Di.

SAM PO KONG [7]
Karya Remy Sylado

Kejadian itu semula tidak diwasangkai Ceng Ho. Sekeluar dari balairung dan ketika berjalan di sudut istana bersama Wang Jing Hong, Ceng Ho bahkan tidak menyadari sesuatu yang mencurigakan. Wang Jing Hong yang membangkitkan kewaspadaannya.

"Apakah Anda menangkap kesan tertentu dalam sikap Menteri Liu Ta Xia tadi?'' tanya Wang Jing Hong.

"Katakan,'' kata Ceng Ho. "Apa yang kaulihat?''

"Aku kira Kaisar cukup jeli melihat sehingga bertanya begitu kepada Liu Ta Xia.''

Ceng Ho meyakinkan dirinya sesuatu yang sebetulnya tidak beralasan untuk bersikap begitu. Katanya datar, "Memang bagitu gaya Kaisar.''

"Tidak,'' kata Wang Jing Hong menyangah Ceng Ho.

"Percayalah,'' kata Ceng Ho mencoba meyakinkan dengan sedapat mungkin agar Wang Jing Hong percaya. "Aku sudah ikut dia sejak umur 12 tahun, sejak aku dikasimkan. Maka aku tahu batul gayanya.''

"Ya, mungkin juga aku keliru,'' kata Wang Jing Hong tak kekurangan rasa percaya diri. "Tapi menurutku, sikap Liu Ta Xia yang menggeleng kepala dan melengos, menyembunyikan air muka di bawah Kaisar, adalah bukti telah berlangsung perasaan yang menunjukkan ketidaksukaannya.''

Ceng Ho menalar sejenak. "Itu jamak,'' kata dia, mengantar pikiran yang tetap hendak mengatakan dirinya lebih mengenal perangai sang kaisar, dan bahwa sebagai menteri yang mengurus ekonomi dan keuangan, Liu Ta Xia wajar menjadi bengitu. Katanya, "Kalau sampai Liu Ta Xia menjerit pun, itu wajar. Dia menteri ekonomi dan keuangan. Dia kewalahan menghitung-hitung anggaran menyangkut gagasan besar sang kaisar.

"Menurutku bukan hanya itu,'' kata Wang Jing Hong bersikeras. "Kelihatannya ada yang Liu Ta Xia sembunyikan. Ketika dia berkata tidak hendak berkata apa-apa, di dalam sebetulnya tersembunyi dengan rapi apa-apa yang tidak terucapkan oleh mulut.''

"Ah, jangan berprasangka buruk,'' kata Ceng Ho dengan nada yang mengarahkan Wang Jing Hong agar bersikap madya. "Kau tahu prasangka buruk dengan gampang membuat kebebasan berpikir kita mundur 100 tahun.''

Ceng Ho menghentikan langkah. Dia tengadah ke langit. Matahari merangkak ke sore hari.

***

Menjelang malam, ketika sore tinggal kerangka, Liu Ta Xia duduk dengan perasaan kalah. Dua orang terpercayanya, Dang Zhua dan Hua Xiong, berada di kitaran.

Jengkel sekali hati Liu Ta Xia ketika dengan suara dengki berkata kepada kedua orangnya itu, "Kayaknya Kaisar sudah disihir oleh tay-jin *) dari Yun-Nan itu. Sekarang aku tidak punya cara lain yang dapat menyingkirkan Ceng Ho.''

Dang Zhua menunduk. Kesopanannya berlebihan. "Bolehkah aku bertanya, Tuan Menteri?''

"Apa pertanyaanmu?'' tanya Liu Ta Xia.

"Yang betul mana: apakah Tuan Menteri tidak suka pada gagasan Kaisar untuk membentuk ekspedisi mahal itu ataukah Tuan Menteri tidak suka secara khusus pada Ceng Ho?''

"Kedua-duanya,'' jawab Liu Ta Xia. "kalian tidak perlu tanya alasannya. Tapi kalau kalian ingin tahu hal sebenarnya, jawabnya karena pertama, dia tay-jin dan kedua dia bukan Xu Xian Jiao **). Sementara itu, karena ternyata dia memang sakti, aku harus berpikir menemukan siasat baru. Dan aku akan memberikan kesempatan sekali lagi kepada tikus got macam kalian beraksi.''

"Kami siap melakukan apa saja pada Ceng Ho demi Tuan Menteri,'' kata Dang Zhua.

"Yang penting aku baru saja memutuskan untuk memulai peperangan hari ini juga. Tugas kalian adalah membuat gunjingan-gunjingan jelek tentang Ceng Ho, terutama tentang pelayaran muhibah itu. Boleh jadi aku pun akan mengupayakan kalian masuk sebagai peserta istimewa dalam pelayaran itu.''

Hua Xiong menundukkan kepala, menyatakan antara hormat dan suka ceria. Katanya seperti diucapkan Dang Zhua, "Kami siap melakukan apa saja demi Tuan Menteri.''

"Begini,'' kata Liu Ta Xia, berpikir sejenak, dan dengan begitu terjadi jeda, lalu menemukan gagasan lancung yang membuatnya atoh bagai rajawali di angkasa menempuh puting beliung. "Dalam gunjingan itu, yang kalian lakukan di sembarang kesempatan, katakan ekspedisi yang menyertakan 27.800 orang, yang dibulatkan menjadi 28.000 orang, itu semata-mata untuk mencari 'cap kerajaan' yang dicuri seekor gajah putih. Siapa pun yang mendengarkan gunjingan kalian harus dibikin percaya bahwa ekspedisi itu konyol. Besok, pada masa datang, orang akan bingung meneliti sejarah bahwa kebesaran Ming dilingkupi oleh gagasan konyol gajah putih yang bisa mencuri cap kerajaan.''

Dang Zhua dan Hua Xiong tersenyum. Kepatuhan sering membuat orang tampil dungu. Secara bersamaan kedua orang dekat Liu Ta Xia itu berkata, "Kami siap melakukan semuanya demi Tuan Menteri.''

***

Maka sesuai dengan harapan Liu Ta Xia, mulailah Dang Zhua dan Hua Xiong kasak-kusuk di pelbagai tempat di mana orang mudah termakan dusta. Pada malam hari keduanya pergi ke rumah minum Lin. Tulisannya: Artinya: tetangga. Terlihat dari jauh.


Catatan: *) tay jin adalah kasim

**) Xu Xian Jiao arti harafiahnya 'agama leluhur', yaitu sinkretisme Kong Hu Cu, Tao, Buddha, lewat penghayatan memuja Fo Zhu (Buddha), Pu-Sa (Boddhisatva), Lou Han (Arhat), dan Xian (Dewata).

SAM PO KONG [8]
Karya Remy Sylado

Lin bukan sekadar rumah minum biasa. Di bagian depan memang tertata meja-kursi untuk orang yang ingin minum. Tetapi di bagian belakang ada beberapa kamar dengan perempuan-perempuan sundal berdandan menor siap ditumpaki. Jadi, Lin menyediakan minuman dan pelacur. Katakanlah Lin adalah rumah bordil. Sebagai rumah bordil, Lin termasuk berkelas.

Ke situlah Dang Zhua dan Hua Xiong pergi. Mereka duduk di bagian tengah. Ada orang lain lagi di sekitar mereka. Sambil duduk di kursi Dan Zhua dan Hua Xiong berpenampilan seakan-akan murung.

Pengelola Lin yang telah kenal benar pada Dang Zhua dan Hua Xiong menghampiri dan bertanya, "Tumben kalian kelihatan murung. Ada apa?"

"Aku pusing memikirkan negara," kata Dang Zhua. "Masa pelayaran Ceng Ho ke selatan semata-mata untuk mencari cap kerajaan yang dicuri seekor gajah putih."

Semua yang berada di bagian depan rumah bordil Lin serta merta mengarahkan mata mereka ke Dang Zhua. Ada yang tersenyum. Ada pula yang merengut.

"Maka daripada pusing minumlah sampai mabuk," kata pengelola Lin.

Lalu dia menundukkan kepala sedikit ke arah muka Dang Zhua dan berkata dengan suara dikecilkan. "Aku punya barang baru dari utara. Ada lima orang. Tinggal pilih. Umurnya sama-sama baru 15 tahunan. Mereka benar-benar akan menghibur orang yang pusing."

"O, Dang Zhua malah ingin dihibur sundal yang berumur 90 tahun," kata Hua Xiong. "Apa kamu punya stok yang 90 tahun?"

Pengelola Lin tertawa kecut.

"Gila," katanya.

"Tidak," kata Hua Xiong. "Ini serius. Dang Zhua pusing. Dia ingin mati juga melalui nenek-nenek 90 tahunan."

Pengelola Lin membuka sedikit bagian atas pakaiannya sehingga payudaranya mengintip. Katanya, "Kenapa harus mati kalau bisa menikmati hiburan dari tubuh perempuan. Hiburan akan membikin orang bersemangat hidup."

"O, Encik belum tahu ceritanya ya?" kata Dang Zhua.

Pengelola Lin menggelengkan kepala. "Belum. Ada apa?"

"Begini ceritanya, Cik," kata Dang Zhua. "Kakak Hua Xiong berumur 28 tahun. Tiga bulan lalu dia kawin dengan perempuan tua berumur 90 tahun yang kaya raya. Dia berharap setelah kawin sebulan dengan nenek 90 tahun itu, sang nenek mati dan kekayaannya otomatis menjadi miliknya. Ternyata, setelah sebulan kawin, kakak Hua Xiong yang baru 28 tahun itu yang kedapatan mati. Tahu kenapa, Cik?"

"Tidak," jawab yang ditanya.

"Menurut hasil pemeriksaan sin-seh, orang muda 28 tahun itu mati lantaran keracunan mengonsumsi susu yang kedaluwarsa," kata Dang Zhua.

"Apa?"

"Ya, Cik," kata Dang Zhua. "Begitulah nasib. Pasti orang muda itu keranjingan banget mengisap-ngisap susu nenek-nenek."

"Gila."

"Memang gila. Tetapi kalau Encik punya stok 90 tahun, sekali lagi, aku ingin jajal."

"Ah, sudahlah," kata Hua Xiong. "Sekarang antar saya ke barang baru yang katamu 15 tahunan."

Hua Xiong berdiri dari kursi. Pengelola Lin berjalan di depan, masuk ke dalam.


***


Ketika Hua Xiong masuk ke dalam, Dang Zhua menghabiskan dulu arak yang dapat memabukkan. Dia memegang cawan sambil tertawa-tawa liar di situ. Setelah itu dia masuk pula ke dalam, ke kamar paling belakang.

Dia langsung meloncat dengan gaya orang-ombak, menjatuhkan diri ke ranjang, tengkurap di situ. Perempuan sundal yang berada di ranjang itu terkejut dan sedikit terguncang. Maklum, gadis itu anak orang miskin yang dijual untuk menjadi pelacur: suatu hal yang lazim terjadi sejak zaman Han.

Begitu menjatuhkan diri ke atas ranjang, Dang Zhua tidak hanya tengkurap atau terlentang. Tapi dia segera melakukan kerajinan tangan: menggerayangi perempuan muda itu.

Oleh nasib yang tidak menguntungkan belaka, bukan atas maunya, perempuan itu terpaksa menerima ini sebagai suatu kodrat yang semoga tidaklah kekal. Katakanlah, perempuan muda yang masih belasan tahun usianya itu menanggapi dengan dingin. Hal itu membangkitkan celoteh seenaknya di mulut Dang Zhua.

"Hei, kenapa kamu seperti mayat?" kata Dang Zhua. "Dingin kembaran es. Tidak ada gairah, tidak ada kehidupan."

"Maaf, Tuan," kata perempuan itu ragu.

"Kenapa?" tanya Dang Zhua. "Kamu masih baru?"

"Ya, Tuan."

"Baru apa? Baru cebok?"

Perempuan itu diam. Tiada kata dari mulutnya.

Dang Zhua merangkul dengan cara sumerowak, menjatuhkan diri ke atas ranjang dan menindihnya.

Perempuan itu memucat. Tak lama kemudian dia menangis tanpa suara. Hanya luh cair keluar dari kelopak matanya. Tampaknya dia terpukul.

Keadaan itu malah membuat Dang Zhua keranjingan. Katanya seraya mengguncang-guncang tubuh perempuan itu, "Hei, jangan menangis. Kenapa kamu menangis? Apa kamu tidak tahu siapa saya? Saya ini johan, jagoan, cempiang yang akan ikut dalam misi muhibah Ceng Ho ke selatan untuk memburu cap kerajaan yang dicuri dan dibawa lari seekor gajah putih. Lihat mukaku ini. Namaku Dang Zhua."

SAM PO KONG [9]
Karya Remy Sylado

Perempuan itu bengong. Bukan tenang, dia malah merinding seperti kedinginan.

Karena itu Dang Zhua jengkel, ''Alah, menangis melulu kamu.''

Perempuan itu tengkurap. Tubuhnya sengal-sengul menahan isak.

''Huh, menjengkelkan. Seperti anak anjing,'' kata Dang Zhua sambil bangkit dan pergi meninggalkan kamar.

Sang pengelola Lin seperti heran melihat Dang Zhua. Katanya dengan senyum nakal, ''Kok cepat sekali?''

Dang Zhua geram. Dia menyemprot dengan kata bernada ketus. ''Huh, barang barumu itu patung bernafas.''

''Kenapa?'' tanya pengelola Lin.

''Menjengkelkan,'' sahut Dang Zhua singkat. Dia duduk kembali di kursi yang tadi di bagian depan rumah bordil merangkap rumah minum ini.

''Menjengkelkan kenapa?'' tanya pengelola Lin dengan niat yang biasa dilakukan orang seprofesi dengannya, yang harus membuat tamu tidak kapok. ''Apa perlu gadis lain?''

''Tidak,'' sahut Dang Zhua. ''Barang barumu yang itu keburu membuat seleraku buyar.''

''Kalau begitu, ganti dengan yang lain. Sebentar lagi yang di kamar tiga selesai. Nama julukannya T'o. *) Pasti dia akan membuat malam makin panjang.''

''Persetan,'' kata Dang Zhua. ''Sudah, jangan berdiri di situ seperti patung. Tuangkan lagi arak buatku.''

''Baik. Baik,'' kata sang pengelola Lin.

Dia berputar hendak ke samping, ke tempat tataan minuman, dan bersamaan dengan itu cempiang yang sudah banyak teruji keunggulannya, yaitu orang Hok Kian yang musafir, penyair dan pegesek teh-yan, Tan Tay Seng, masuk pula ke sini. Dia langsung duduk di pojok. Beberapa pasang mata langsung melihatnya.

Pengelola Lin mendatanginya. Dia memberi senyum yang klise dan bertanya dengan menggerak-gerakkan tangan, ''Anda orang baru di sini?''

Tan Tay Seng hanya memandang muka pengelola Lin tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Namun dia memberi senyum yang diterjemahkan sebagai kata pembenaran.

''Mau coba anggurku?'' tanya pengelola Lin.

''Yang paling memabukkan,'' jawab Tan Tay Seng.

''Tentu,'' jawab pengelola Lin. ''Aku bisa melakukannya, mencampuri sari anggur paling anggur yang lebih memabukkan daripada anggur Ti Hsi **) sekalipun.''

''Bagus,'' kata Tan Tay Seng.

''Dan, kalau Anda perlu mengendurkan saraf, kami punya stok gadis-gadis belasan tahun dari utara. Masih baru.''

Tan Tay Seng tertawa terbahak-bahak sehingga semua mata melihatnya, termasuk Dang Zhua.

''Baiklah,'' kata Tan Tay Seng. ''Aku membutuhkan perempuan dan anggur yang sanggup melahirkan ilham dari air mata dan mabuk, diantarkan ke gapura rindu dan dendam pada ketagihan atas nama cinta yang berpadu dusta.''

''O ya, pasti, pasti,'' kata pengelola Lin. ''Keduanya bakal Anda peroleh di sini. Kalaupun ada dusta di sini, kami menjualnya dengan kesungguhan. Yang penting Anda senang, kami pun senang.''

Sedikit-sedikit Dang Zhua melirik ke arah Tan Tay Seng. Yang dilirik pun menyadari itu.


***


Di mejanya Dang Zhua telah menghabiskan beberapa cawan arak sehingga badannya bagai orang-ombak. Manakala Hua Xiong keluar dari kamar, dilihatnya Dang Zhua telah tak sadarkan diri di meja depannya. Di situ Dang Zhua tertidur dengan kepala basah.

Hua Xiong menggugahnya

''Dang Zhua, bangun.''

Dang Zhua seperti melindur, ''Kenapa?''

''Ayo kita pulang,'' kata Hua Xiong.

Kepala Dang Zhua terasa berat. ''Apa kamu sudah selesai?''

''Sudah. Ayolah.'' Hua Xiong membantu memberdirikan.

''Bagaimana rasanya?'' Dang Zhua bertahan di kursinya.

''Rasanya sama seperti semua perempuan. Cuma ini bedanya, dia masih perawan.''

Mata Dang Zhua nanar. Seakan ada pengalaman baru yang menyengat kesadarannya. ''Apa kamu bilang?''

''Ya, aku bilang, yang baru aku pakai itu masih perawan,'' kata Hua Xiong.

''Apa? Apa telingaku tidak salah mendengar?''

''Ya, telingamu tidak salah mendengar,'' kata Hua Xiong. ''Gadis itu dijual bapaknya ke Lin sebab bapaknya dililit utang.''

''Ha-ha-ha. Berarti kamu baru saja menjadi guru?''

''Apa maksudmu?''

''Ya. Kamu terpaksa mengajar anak ingusan untuk memasukkan belut ke dalam gua persembunyiannya.''

''Ayo, sudahlah. Kita pulang,'' kata Hua Xiong menarik dan membopong keluar.

Malam sudah sangat larut. Sebentar lagi subuh.


***

Pada waktu subuh Ceng Ho berjalan bergegas-gegas menuju ke suatu tempat. Sambil berjalan cepat, sayup-sayup terdengar dari arah barat, ke tempat tujuannya itu, sipongang suara muazin mengimbaukan salat, ''Ashshalatu khairu minannaum...''

Ceng masuk ke dalam masjid itu, bersembahyang di situ. Kali ini tidak ada lagi mata yang mengintai.


***

Catatan: *) T'o berarti kepuasan.

**) Ti Shi adalah nama seorang pembuat minuman dari dongeng abad ke-4 Masehi yang konon membuat orang lelap dalam mabuk sepanjang 1.000 hari.

SAM PO KONG [10]
Karya Remy Sylado

Meskipun yang mengintai tidak ada lagi seperti kemarin, bukan berarti orang yang menginginkan dia celaka sudah berhenti melakukan kejahatan.

Siang nanti, ketika orang mulai bekerja merampungkan kapal-kapal, khususnya kapal besar yang akan digunakan Ceng Ho, terlihat bagaimana Dang Zhua dan Hua Xiong datang ke rumah Liu Ta Xia dan langsung duduk di situ.

Tak lama kemudian tampak pula Liu Ta Xia dengan segala kelebihan dan kekurangan - dikatakan kelebihan karena dia cerdik dan sewaktu-waktu, seperti sekarang, menjadi licik; dan dikatakan kekurangan karena dia kadung menaruh rasa percaya kepada dua orang yang sebetulnya bodoh - datang dan duduk di hadapan Dang Zhua dan Hua Xiong.

"Seperti kataku kemarin, aku akan berupaya memasukkan kalian ke dalam rombongan misi muhibah Ceng Ho," kata Liu Ta Xia dengan sangat bangga. "Tapi, kupikir, siasat ini tidak sederhana bagi orang seperti tikus got macam kalian."

Dang Zhua dan Hua Xiong saling pandang dengan wajah lugu dan cenderung dungu.

"Tapi, kalau kalian berada dalam ekspedisi Ceng Ho itu, kalian harus memiliki keahlian khusus. Sekarang aku ingin bertanya pada kalian berdua: apa interes kalian selain menjadi maling?"

"Ah, Tuan Menteri bercanda," kata Dang Zhua. "Sudah pasti interes semua lelaki di dunia adalah perempuan. Rekreasi yang paling menyenangkan: payudara besar, pinggul besar, tapi pinggang kecil, gua kecil, singset."

"Tadi malam aku mendapatkan itu, Tuan Menteri," kata Hua Xiong.

"Otak kalian memang dari dulu cuma sebatas puser ke bawah," kata Liu Ta Xia. "Kalau kalian tidak punya keahlian khas, kalian tidak mungkin bisa berkomunikasi dengan Ceng Ho, dan itu berarti mubazir mengupayakan kalian masuk dalam ekspedisi pimpinan Ceng Ho."

"Tidak, Tuan Menteri, percayalah kami bisa diandalkan," kata Dang Zhua.

"Mana mungkin?" kata Liu Ta Xia. "Apa kalian tidak tahu, Ceng Ho itu tay-jin?"

"Apa masalahnya, Tuan Menteri?" tanya Hua Xiong.

"Kalian doyan perempuan. Mana mungkin kalian berkomunikasi secara akrab dengan tay jin?"

"Apa ruginya kalau terjadi jarak dengan Ceng Ho?" tanya Hua Xiong.

"Tolol," kata Liu Ta Xia. "Bagaimana kalian mengetahui kekuatan dan kelemahan lawan kalau kalian tidak dekat. Jangan lupa ilmu Sun Tzu?" *)

Dang Zhua yang bertanya sekarang, "Jadi apa yang harus kami lakukan?"

Liu Ta Xia tak segera menjawab. "Aku sedang berpikir."

"Begini, Tuan Menteri Liu," kata Hua Xiong hendak bermegah-megah mengilas balik masa kanaknya. "Sewaktu anak-anak aku sudah terampil menghafal seluruh isi kitab suci Ko Ong Kuan Si Im Keng. Apakah ini boleh dianggap sebagai keahlian khusus?"

Liu Ta Xia berpikir, "Tunggu," kata dia. "Biarkan aku berpikir dulu."

Sambil membiarkan Liu Ta Xia berpikir, mengerutkan kening, membayang-bayang sesuatu yang menguntungkan, berkata Hua Xiong dengan lebih memegahkan diri, "Aku malah masih menghafal dengan lancar sampai sekarang, bukan saja kitab Buddha, melainkan juga Tao dan Kong Hu Cu."

Liu Ta Xia memandang tajam ke muka Hua Xiong. Dengan pandangan yang tidak berkedip, maka dalamnya ada perasaan ragu yang kemudian menjadi tidak percaya pada pernyataan Hua Xiong itu. Karena itu, berkata Liu Ta Xia dengan nada menekan, "Betul begitu?"

Hua Xiong plegak-pleguk. Ini meyakinkan bahwa dia hanya berbual. Katanya, "Setidaknya itu cita-citaku, Tuan Menteri."

"Cocotmu!" kata Liu Ta Xia.

"Tapi, saya tidak dusta, Menteri Liu," kata Dang Zhua. "Kalau soal hafal-menghafal saya sangat teruji. Sebagai penganut Zu Xian Jiao, bukan hanya kitab Ko Ong Kuan Si Im Keng yang aku hafal, melainkan juga Dao De Jiang."

"O, ya," kata Liu Ta Xia dengan ceria. "Kalau begitu aku sudah menemukan jawaban dalam pikiranku. Tepat sekali, ya, aku akan masukkan kalian berdua dalam ekspedisi itu, menyamar di sana sebagai penasihat spiritual Buddha dan Tao."

Dang Zhua dan Hua Xiong saling berpandang, bertanya sesuatu yang tidak terucapkan. Melihat itu Liu Ta Xia bertanya. "Kenapa? Kalian tidak sanggup?"

"Bukan, Tuan Menteri," kata Dang Zhua dan Hua Xiong bersamaan.

"Bukankah Ceng Ho itu muslim, Tuan Menteri?" lanjut Dang Zhua.

"Jangan potong omonganku," kata Liu Ta Xia. "Dengar baik-baik, supaya kalian tidak bertanya-tanya terus. Ceng Ho memang muslim, dan sebagai muslim dia masih berhubungan darah dengan Suo Fei Er, atau nama Arabnya: Sayidinia Syafii. Suo Fei Er itu menyerahkan diri kepada Kaisar Song pada 400 tahun yang lalu. Tapi kalian tidak usah pusing. Di dalam ekspedisi itu, orang Islamnya hanya dihitung dengan jari. Jumlah terbesarnya tetap adalah yang memuja Jing Tian Zun Zu. Karenanya, kalian bukan orang asing di kapal itu. Kalian harus cerdik melebihi ular, tapi kalian tetap harus mampu menjaga penampilan melebihi ketulusan merpati. Kalian mengerti?"

Kedua-duanya, Dang Zhua dan Hua Xiong, menjawab serempak dan yakin, "Mengerti."

"Dan, yang paling utama, jaga rahasia ini," kata Liu Ta Xia sangat serius. "Segala macam musibah dan hal-hal buruk dalam pelayaran itu nanti harus kalian yang merekayasa. Kalian harus bisa membuat catatan-catatan jelek dari ekspedisi yang pertama ini agar tidak ada lagi lanjutan ekspedisi kedua sampai ketujuh. Kalian mengerti?"


Catatan: *) Sun Tzu adalah kawruh filsafat perang Cina.