RSS

Menginginkan
Mempernahkan
Mengalami
Melatihkan
Mempelajari
Mencari

Tampilkan postingan dengan label Tulisan Lain. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tulisan Lain. Tampilkan semua postingan

Diary Soe Hoek Gie

Diary Soe Hok-Gie

10 Desember 1959
Siang tadi, aku bertemu dengan seorang (bukan pengemis) yang tengah memakan kulit mangga. Rupanya ia kelaparan. Inilah salah-satu gejala yang nampak di ibu kota.

Ya, dua kilometer dari pemakan kulit “paduka” kita mungkin lagi tertawa-ketawa, makan-makan dengan istrinya yang cantik. Dan kalau melihat gejala pemakan kulit itu, alangkah bangga hatiku. “Kita, generasi kita, ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang mengacau. Generasi kita yang menjadi hakim atas mereka yang dituduh koruptor-koruptor tua. Kita lah yang dijadikan generasi yang akan memakmurkan Indonesia.”

“Aku besertamu, orang-orang malang.” Indonesia sekarang turun, turun dan selama tantang sejarah belum dapat dijawabnya, ia akan hancur. “Tanahku yang malang.” Harga barang membumbung semua makin payah. Gerombolan meneror. Tentara meneror. Semua menjadi teror.

Cuma pada kebenaran masih kita harapkan. Dan radio masih berteriak-teriak menyebarkan kebohongan. Kebenaran cuma ada di langit dan dunia hanyalah palsu, palsu.

27 Mei 1960
Bagiku cinta bukan perkawinan. Dulu kurang lebih 1-2 tahun yang lalu aku yakin bahwa cinta=nafsu. Tapi aku sangsi akan kebenaran itu. Aku kira ada yang disebut cinta yang suci. Tapi itu akan cemar bila kawin. Akupun telah pernah merasa jatuh simpati dengan orang-orang tertentu, dan aku yakin itu bukan nafsu.

8 Februari 1958
Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan murid bukan kerbau.

12 Juni 1960
Masyarakat Borjuis

Surat Terbuka Pramoedya Ananta Toer kepada Keith Foulcher


Surat Terbuka Pramoedya Ananta Toer kepada Keith Foulcher
Jakarta, 5 Maret 1985

Demi Demokrasi 2 (1985); an English translation is in Indonesia Reports, cultural and social supplement (August 1986)
Salam, 
Surat 26 Februari 1985 saya terima kemarin, juga surat terbuka Achdiat K. Mihardja untuk teman-teman (sarjana) Australia yang dilampirkan. Terimakasih. Lampiran itu memang mengagetkan, apalagi menyangkut-nyangkut diri saya, dan tetap dalam kesatuan semangat kaum manikebuis pada taraf sekarang: membela diri dan membela diri tanpa ada serangan sambil merintihkan kesakitannya masa lalu, yang sebenarnya lecet pun mereka tidak menderita sedikit pun. Total jendral dari semua yang dialami oleh kaum manikebuis dalam periode terganggu kesenangannya, belum lagi mengimbangi penganiayaan, penindasan, penghinaan, perampasan dan perampokan yang dialami oleh satu orang Pram. Setelah mereka berhasil ikut mendirikan rezim militer, dengan meminjam kata-kata dalam surat terbuka tsb.: "All forgotten and forgiven" dan revisiannya: "We’ve forgiven but not forgotten." Saya hanya bisa mengelus dada. Kemunafikan dan keangkuhan dalam paduan yang tepat, seimbang dengan kekecilan nyalinya dalam masa ketakutan. Dan Bung sendiri tahu, perkembangan sosial- budaya-politik–di sini Indonesia – bukan semata-mata ulah perorangan, lebih banyak satu prosedur nasional dalam mendapatkan identitas nasional dan mengisi kemerdekaan. Tak seorang pun di antara para manikebuis pernah menyatakan simpati – jangan bayangkan protes – pada lawannya yang dibunuhi, kias atau pun harfiah. Sampai sekarang. Misalnya terhadap seniman nasional Trubus. Japo[?] Lampong. Apalagi seniman daerah yang tak masuk hitungan mereka. Di mana mereka sekarang. Di mana itu pengarang lagu Genjer-genjer? Soekarno mengatakan: Yo sanak, yo kadang, yen mati m[?a]lu kelangan. Yang terjadi adalah – masih menggunakan suasana Jawa: tego larane, tego patine.
Masalah pokok pada waktu itu sederhana saja: perbenturan antara dua pendapat; revolusi sudah atau belum selesai. Yang lain-lain adalah masalah ikutan daripadanya. Saya sendiri berpendapat, memang belum selesai. Buktinya belum pernah muncul sejarah revolusi Indonesia. Karena memang belum ada distansi dengannya. Belum merupakan kebulatan yang selesai. Maka para sejarawan takut. Malah kata revolusi nasional cenderung dinamai dan dibatasi sebagai perang kemerdekaan.